kisah perjuangan R.A KARTINI
Pejuang Kemajuan Wanita.
Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang,
itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang
terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di
negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari
seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah
membudaya pada zamannya.
Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam
memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis
di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk
anak gadis di Jepara dan Rembang.
Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka
penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu
sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri.
Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan
dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan
yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami
sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa
tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang
wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun
teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan
wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di
hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.
Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah
pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa
memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan
saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese
Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun
dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di
tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di
tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan
sampai tiba saatnya untuk menikah.
Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak bergaul
dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya
buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli “Max
Havelaar” dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari
betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan
wanita bangsa lain terutama wanita Eropa.
Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah
sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang
Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa
yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.
Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan
wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya
bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya
itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di
daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran
menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya
tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.
Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti
Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi
seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun
telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak
tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya
tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden
Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.
Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan
sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di
samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa
yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh
wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat
masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang,
Madiun, dan Cirebon.
Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai
banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri
Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para
sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya
memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda
dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut,
tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria.
Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian
dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa
Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah
Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar
dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut
telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di
kemudian hari.
Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya
kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih
banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia
yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal
dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September
1904, ketika melahirkan putra pertamanya.
Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama
negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik
Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108
Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal
21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari
besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing
pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu
menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun
merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan
wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih
ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut
mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang
saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan
berbagai alasan lainnya.
Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya
seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita
Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan
gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan
bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.
Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi
pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah
Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga
nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita
banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien,
Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny.
Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.
Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda.
Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang
berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang,
atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata,
ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara
lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan
bangsa yang patut kita hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat
tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan
perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami
perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu.
Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah
kaumnya dari belenggu diskriminasi.
Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di
negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut.
Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak
dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh sebagian
orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya
maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan
kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini, sekarang
adalah masa pembinaan. [*]TokohIndonesia/DPT
***
Biografi
Nama: Raden Ajeng Kartini
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan: E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Prestasi:
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang
Kumpulan surat-surat:
- Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Penghormatan:
- Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar
0 komentar:
Posting Komentar